JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi di Indonesia memang
sangat menjanjikan, bagaimana tidak, di saat ekonomi global terpuruk,
ekonomi Indonesia malah mencatat kenaikan yang cukup signifikan. Ekonomi
Indonesia yang bertahan di tengah gempuran krisis ekonomi global
ternyata tidak mengikis kekayaan para taipan di Tanah Air. Terbukti,
kantong para konglomerat justru semakin tebal.
Majalah Forbes mencatat, terdapat 25 orang yang kekayaannya
tidak kurang dari USD1 miliar. Lalu apa rahasia dari para pengusaha
tersebut, agar pundi-pundi kekayaan mereka terus terisi dengan dana
segar. Komisaris Perusahaan Listrik Negara (PLN) Syahrial Loetan
“membocorkan” kiat para pengusaha tersebut dalam menjaga kekayaan
mereka.
“Saya pernah ngobrol dengan orang kaya Indonesia, yang nomor
satu, Rudi Hartono, pengusaha rokok, saya pikir ini adalah cerminan
pengusaha yang punya banyak uang, investor itu kan orang kaya, uangnya
banyak, tapi mereka tidak mau kehilangan satu sen pun uang mereka,” kata
dia.
“Kalau kita, karena kita enggak punya duit, kita malah gampang ya ngilanginnya,” tambah dia diiringi tawa.
Dia melanjutkan, para pengusaha sebenarnya mengkritisi kebijakan
pemerintah yang dinilai tidak melihat jauh ke depan. Menurut Syahrial,
pemerintah terlalu cepat melakukan “panen”, akibatnya industri yang
harus bias tumbuh subur malah harus terpangkas.
“Jadi dia bilang begini, kenapa pemerintah selalu ingin short term profit, ini saya baru mau nanem uang di tempat yang ajaib gitu, seperti Palangkaraya. Saya baru mau nanem,
langsung dipajakin. Padahal, saya nanem itu kan baru mau coba-coba
dulu, kasih relaks dulu dong. Kalau dia di kasih relaks di awal, lalu
berhasil, baru nanti dipajakin,“ jelas dia.
Padahal, ayah dua anak ini melanjutkan, terdapat keuntungan lainnya
selain pajak yang bias dihasilkan dari industri ini. Pertama, dengan
dibukanya industri ini, maka akan dapat menarik banyak tenaga kerja, dan
akhirnya dapat membawa daerah itu maju.
Jika perusahaan tersebut dapat lebih maju dan berhasil ekspor, maka saat
ini baru bicara pajak. “Jadi jangan terburu nafsu, semua usaha itu di
awal tidak harus dipajakin, kalau di Vietnam misalnya, mereka dapat
rileks pajak 10 tahun, tapi kalau kita tidak harus segitu, bisa dihitung
lamanya,” jelas dia.
“Jadi orang kaya itu malah koret, mereka hitung-hitungan. Kalau
mereka melihat ada minus satu itu enggak boleh. Jadi enggak ada itu
dalam catatan mereka minus satu. Kalau kita minus satu kan cingcai, enggak apa-apa. Nah, pola pikir kita harus seperti orang kaya itu,” tuturnya.
Dia melanjutkan, orang-orang kaya tersebut, juga memiliki pola pikir
yang sulit ditebak. Namun, dengan pemikiran tersebut, mereka berhasil
mengembangkan industri mereka. “Contohnya dia bangun pabrik rokok itu di
mana? Tidak di Jakarta kan, dia bangun di Kudus, yang orang enggak
pernah mikir, pabrik uang kertas di Kudus, enggak tahu kenapa
di sana, tapi yang hebat-hebat itu di sana pabriknya, ya tapi masih di
Pulau Jawa,” katanya.
Dukung Pengusaha Nasionalis
Saat ini, industri-industri yang terjadi memang masih terpusat di Pulau
Jawa, akan tetapi jika Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) sudah terbuka, tidak menutup kemungkinan
kawasan Indonesia Timur dapat dikembangkan. “Kita bisa bilang bangun
pabrik di Papua misalnya. Kenapa di Papua? Kan bahan dasarnya banyak,
pohon untuk kertas bisa ada di sana, misalnya gitu,” jelas dia.
Menurutnya, konsep ini telah diterapkan oleh PLN, yakni membangun
pembangkit di mulut tambang batu bara. Dengan demikian, jika ingin
membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) maka akan lebih mudah
mencari bahan bakunya.
“Tapi siapa mau beli listriknya? Ya kalau kita mau gampang, kita buat
transmisi dikit, itu kan lebih murah. Tapi memang ada itung-itungannya,
enggak mulut tambang somewhere in the middle trus dialiri ke Jakarta kan susah,” jelas dia.
Dia melanjutkan, potensi bahan mentah untuk dikembangkan di Indonesia
memang sangat besar sekali, sayangnya tidak semua investor yang
menanamkan investasi merupakan investor yang memang berniat membangun.
Menurutnya, ada investor yang tidak begitu baik alias brengsek.
“Investor memang enggak mau rugi, tapi kita juga harus mendidik ya,
enggak semua investor yang hanya ingin untung besar, ada investor yang
punya rasa kebangsaan, mereka tetap enggak mau rugi memang, tapi
untungnya enggak gede-gede banget, mereka can do something,” katanya.
“Ada beberapa pengusaha-pengusaha kita yang baik menurut saya, mereka
berjuang, meski kadang proyeknya itu agak lelet tapi terus jalan.
Mungkin awalnya agak susah, tapi mereka sudah hitung balik nanti bisa
balik, meski agak lama, nah itu mereka punya sifat merah putih yang agak
tinggi, tapi yang lebih penting, mereka punya bakul yang masih bisa
dipakai untuk menutupi. Tapi kalau cuma yang hit and run yang modal dengkul, begitu seret, ya kabur,” jelas Syahrial.
Sayangnya, tidak semua pengusaha nasionalis tersebut didaulat untuk
mengerjakan sebuah proyek. Pasalnya, untuk mengerjakan sebuah proyek,
mereka harus menang lewat tender. Di sisi lain, tender kerap
teridentifikasi menjadi suatu bocoran, tempat bocornya uang, sehingga
perlu adanya reformasi.
Hal ini, menyebabkan para panitia tender proyek tidak lepas dari sorotan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akibatnya, yang diutamakan adalah
yang melakukan tender yang murah. “Di dalam beberapa klausul, terjadi
dilewati pemenang itu dengan cara tender, tapi ternyata yang menang itu
enggak qualified,” jelas dia.
Oleh karenanya, diperlukan kejelian dalam proses pengadaan tender.
Sehingga, para pengusaha nasionalis tersebut dapat kesempatan untuk
kembali menggarap proyek-proyek yang ada. “Kalau memang ada yang harus
menang, tidak perlu yang menang yang termurah, tapi yang menang karena
yang berkualitas,” tukas dia
0 komentar:
Posting Komentar